Umbrella (Chapt. 12 – Believe In You)

Jemari kurus dengan kulit pucat itu menggenggam dua buah buku tabungan, membukanya dan membolak baliknya berkali-kali. Pikirannya berkecamuk menimbang berbagai akibat yang mungkin saja terjadi atas apa yang akan ia lakukan segera.

Penolakan mungkin -atau pasti- akan terjadi dimana-mana. Eomma akan mengomel, appa akan melemparinya dengan tatapan tak suka, dan Mimi hyung… ah, sepertinya ia lah satu-satunya orang yang akan menerima keputusannya tanpa banyak bertanya. Apapun yang dirinya lakukan selalu mendapat dukungan penuh kakak nya itu, jadi ia sama sekali tak hawatir tentang bagaimana tanggapan Mimi hyung menyoal keputusannya ini.

Seminggu berlalu sejak ia pulang dari rumah harta karunnya, semuanya berjalan seperti biasa, sekolah, pergi ke JeHa dan melihat orang-orang itu berlatih, dan lalu membuat lagu. Tak ada yang berbeda. Namun siapa yang menyangka bahwa apa yang ada di dalam pikiran anak berusia enam belas tahun itu sangatlah kompleks, tidak sesederhana yang orang lihat.

Baiklah, bagi orang-orang terdekatnya yang sudah sangat mengenalnya tentu tahu bagaimana ia sebenarnya, bagaimana rumit pikirannya. Betapa istimewanya ia dengan segala pemikiran jeniusnya, terobosan-terobosannya yang seringkali tak masuk akal, tapi justru selalu menjadi jalan keluar terakhir dari banyak permasalahan di perusahaan. Terutama yang berkaitan dengan produksi dan sistem pelatihan sejak beberapa tahun terakhir. Tepatnya sejak ia mulai bergabung di JeHa.

Semua orang di perusahaan sudah tahu betapa berharganya anak itu, ia adalah masa depan JeHa Bersama kakak satu-satunya. Ia dengan otak kreatifnya dan sang kakak dengan keahliannya dalam hal management perusahaan.

Bukankah masa depan JeHa Ent. Sudah tampak cerah?

Anak itu, Cho Kyuhyun masih sibuk dengan kedua buku tabungannya. Salah satunya adalah pemberian orang tuanya, dan yang lainnya adalah miliknya. Hasil dari jerih payahnya selama ‘bekerja’ sebagai composer dan juga produser di JeHa. Sebenarnya ia sudah membuat keputusan, tapi tetap saja ini tak akan mudah. Mungkin jika bisa melakukannya sendiri sudah ia lakukan sejak kemarin, tapi usianya yang masih belia membuat geraknya terbatas. Banyak hal yang tak bisa ia lakukan tanpa persetujuan orang tuanya dan salah satunya adalah keputusannya ini.

“hah…” napasnya berhembus kasar, matanya terpejam sejenak sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya, berjalan perlahan menuju pintu kamarnya.

Awalnya ia sedikit ragu, namun sekali lagi ia menarik napas begitu dalam, tangannya terkepal kuat, ia anggukan kepala meyakinkan diri bahwa keputusannya sudah tepat dan ia tak akan menyerah untuk meyakinkan eomma dan appa.

“Aku pasti bisa!”

.

“eomma… appa…”

Keduanya menoleh Ketika suara kecil menelusup di telinga mereka dari arah tangga, eomma tersenyum sembari tetap mengupas apel di tangannya, begitupun appa yang sejenak menghentikan aktifitasnya yang tengah sibuk dengan laptop di pangkuannya.

“ada apa Little Cho?” tanya eomma lembut.

“kemari, duduklah!” pinta appa sambil menyimpan laptopnya di atas meja dan menggeser posisi duduknya memberi tempat untuk putra terkecilnya.

Kyuhyun tersenyum, ia berjalan perlahan menuju sofa dan duduk di samping appa.

Ia tatap appa dan eomma secara bergantian, menelan salivanya sesekali dan lalu menggigit bibir bawahnya perlahan.

Keduanya tahu betul ada sesuatu yang ingin putra bungsu mereka utarakan, dilihat bagaimana gelagatnya, ini pasti bukan sesuatu yang sepele.

Entah apa yang akan Kyuhyun katakan. Eomma masih tak menemukan petunjuk sedangkan appa mulai bisa menebak.

“apa yang kau butuhkan untuk mereka Kyuhyun-ah?”

Kyuhyun mengerjap, matanya membola menatap appa. Meski tak appa ucapkan secara gamblang namun Kyuhyun tahu siapa yang appa sebut dengan kata ganti orang ketiga itu.

Mereka…

Ya, mereka… mimpinya… masa depan baginya…

Sementara appa dan Kyuhyun saling melempar tatapan dalam hening, Wanita cantik di antara mereka hanya mengerutkan dahi tak mengerti.

“mereka?” tanyanya mengharap jawaban dari kedua lelaki terkasihnya itu. “mereka siapa?” tanyanya lagi karena tak kunjung ada sahutan dari keduanya.

“anak-anak pelatihan di JeHa, kau tahu maksudku sayang…” ujar appa.

“calon anggota groupmu itu Little Cho? Yang salah satunya putra tuan Choi Ki Ho?” sergah eomma minta kejelasan.

Kyuhyun mengangguk singkat, Kembali ia tatap appa dan eomma secara bergantian.

Dadanya mulai bergemuruh, ia tahu akan sekeras apa eomma menolak gagasannya. Apalagi ini berhubungan dengan jerih payahnya selama ini yang sudah ia kumpulkan sejak beberapa tahun lalu.

Meski ia melakukan semua dengan dasar kecintaannya pada music dan rasa tertariknya pada dunia idol selama beberapa tahun terakhir, namun tetap saja ini memanglah hak yang harusnya ia dapatkan.

Benar bukankah ini haknya? Miliknya? Lalu, kenapa ia harus takut untuk melakukan sesuatu pada apa yang ia miliki? Bukankah semua terserah padanya?

Ya… terserah padanya jika ia cukup dewasa untuk melakukan semua sendiri tanpa persetujuan orang tua.

Tanpa terasa ia menghembuskan napasnya kuat, sadarlah bahwa dirinya belum cukup mampu untuk melakukan segalanya tanpa bantuan siapapun. Ia masih butuh… tidak, sebenarnya masih sangat butuh orang tuanya. Keluarganya, orang-orang sekelilingnya.

Meski keraguan masih bergelayut dihatinya, akan tetapi keputusannya sudah bulat.

Kyuhyun keluarkan buku tabungan dari kantung celananya, menyimpannya di atas meja. Di hadapan eomma dan appa yang masih menatapnya bingung.

“aku tahu eomma dan appa akan menolak keputusanku, tapi aku mohon… hanya ini satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk melanjutkan mimpiku.”

Keduanya tetap terdiam, mencoba mendengarkan apa yang akan putra terkecil mereka katakan.

“ini tabunganku yang aku dapat hasil dari royalty selama aku di JeHa, aku ingin mendepositkannya.” Ucapnya langsung pada poin utama.

Appa terdiam, sementara eomma memiringkan kepalanya menatap mata Kyuhyun. “Untuk apa Little Cho?”

Sejenak Kyuhyun terdiam, ia tatap manik eomma dalam. “agar bunganya bisa aku gunakan eomma,”

“digunakan untuk apa?” sekarang giliran appa yang sejak tadi terdiam akhirnya bertanya.

 “jika di depositkan tidak akan bisa di gunakan dengan bebas, kau tahu itu?” eomma meyakinkan.

Kyuhyun mengangguk kuat, “aku tahu eomma, aku sudah mempertimbangkannya dan jika di depositkan bukankah akan ada bunga yang bisa di dapatkan?”

“iya, lalu?”

“aku… aku… ingin memberikan bunganya untuk keluarga calon trainee ku”

Hening.

Tak ada suara.

Hingga tiba-tiba…

“YA!!! CHO KYUHYUN!!!”

.

.

Sebungkus roti melayang hingga jatuh tepat di atas meja di hadapan seorang pemuda dengan seragamnya yang berwarna biru tua, ia terbangun. Mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertelungkup di permukaan meja.

Jemarinya meraih roti isi tuna yang tergeletak begitu saja di atas meja sebelum akhirnya menyimpannya Kembali ke tempat semula, tak lama setelah itu sekotak susu juga mendarat tak jauh darinya.

Siswa tampan dengan kulit pucatnya itu mendengus, ia mendongak menatap si pelaku yang sudah berdiri angkuh di samping tempat duduknya.

Seorang siswa dengan seragam yang sama persis dengannya, perawakannya begitu tinggi menjulang membuatnya terlihat mencolok di bandingkan teman-teman seusianya, belum lagi wajahnya yang memang di atas rata-rata. Tampan.

“jangan menatapku dengan tatapan tajam seperti itu!” serunya sambil berkacak pinggang. “sebaiknya segera kau makan ini, Cho!” lanjutnya menunjuk roti di tangan temannya yang terus melihatnya sambil memicingkan mata tak suka.

Ia masih terdiam tak bergeming, tak ia sentuh sekotak susu dan sebungkus roti yang sudah sahabatnya itu bawakan.

Tak menyerah, pemuda itu ambil bungkusan roti di tangan seorang anak yang ia panggil ‘Cho’. Ya, dia yang sejak tadi menelungkupkan kepalanya adalah Cho Kyuhyun yang dari pagi terus murung dan tak bersuara.

“kau saja yang makan Changmin-ah… aku sedang tak berselera,” gumam Kyuhyun membuang muka, Kembali menelungkupkan kepalanya.

Changmin mendengus kesal, ia robek bungkus roti isi tuna yang sudah ada di tangannya. Mendudukan diri di kursi miliknya, tepat di samping kanan Kyuhyun sahabatnya.

“Ya! Cepat habiskan!”

“diamlah Changmin-ah…”

“jangan lewatkan makan siangmu Kyuhyun-ah, kalau ibu mu tahu beliau akan marah besar…”

“eomma tak akan tahu kalau kau tidak memberi tahunya,” sergah Kyuhyun masih tak mau kalah.

“kau mau begini terus Cho Kyuhyun?!” tanya Changmin dengan nada suaranya yang mulai tinggi.

Sungguh ia hanya menghawatirkan sahabatnya itu tak ada hal lain lagi, sejak pagi Kyuhyun tak banyak bicara, ia tahu pasti sesuatu telah terjadi. Ingin rasanya bertanya, namun urung Changmin lakukan. Ia ingin memberi Kyuhyun waktu untuk merenung namun bukan seperti ini yang Changmin maksud.

Melewatkan makan siang padahal ia tahu beberapa hari lalu sahabatnya sejak kecil itu sempat jatuh sakit, Changmin tak ingin Kyuhyun Kembali seperti delapan tahun lalu. Rentetan kejadian silam yang mereka lewati dulu, seolah menjadi trauma tersendiri bagi Changmin, karena itulah ia cukup protektif pada sahabatnya itu.

“pergilah Changmin-ah, aku sedang tak ingin makan apapun,”

“kau serius akan terus seperti ini Cho?! atau kau mau mati sebelum mimpimu itu terwujud eoh?!!!”

Sepersekian detik tubuh Kyuhyun membeku, bola matanya bergulir. Ia menyadari sesuatu, bahwa Changmin tidaklah sedang main-main, tampaknya ia tengah benar-benar marah.

Perlahan Kyuhyun angkat kepalanya lurus, menatap Changmin yang tak lepas menghujaminya dengan tatapan tajam. Wajah pemuda jangkung itu sedikit memerah, rahangnya mengeras menahan marah.

Beberapa teman di kelas semua terdiam mendengar bentakan Changmin, mereka saling melempar pandang dan berbisik sebelum akhirnya memutuskan untuk berdiri dan berlalu meninggalkan kelas.

Entah sejak kapan, namun setiap kali Shim Changmin meninggikan suaranya, mereka tahu itulah saatnya mereka pergi. Shim Changmin yang selalu bersikap ceria dan jenaka. Jika ia marah tak ada yang berani mendekat padanya. Hanya Kyuhyun, ya. Hanya dia seorang yang bisa membujuk Changmin dan membantu meredakan emosinya.

“Baiklah… Baiklah…” ujar Kyuhyun denga suara lembut, akhirnya ia mengalah.

Ia raih roti dan susu di tangan Changmin, “aku akan makan, sudah kau jangan marah lagi Changmin-ah. Eoh?”

Changmin masih terdiam, tak memberi respon. Perlahan ekspresi wajahnya mulai melembut, sepasang maniknya mengedip sambil tak lepas menatap Kyuhyun.

“Ya… kau jangan marah Changmin-ah, lihat aku memakannya…” kata Kyuhyun melontarkan kalimat bujukan sembari mengunyah roti isi yang Changmin bawa. Sesekali ia menyeruput sekotak susu di tangannya yang lain dengan cepat.

“pelan-pelan, nanti tersedak…”

Seulas senyum tersungging di bibir pucat Kyuhyun, ia sangat mengenal Changmin. Bagi orang lain Changmin sangatlah menyeramkan ketika marah, namun baginya Changmin tak ubahnya seorang anak yang akan luluh hanya dengan sedikit bujukan.

.

“jadi mereka tidak setuju?”

“lebih tepatnya belum,” gumam Kyuhyun meluruskan pertanyaan Changmin sambil tangannya sibuk melipat kotak susu yang isinya sudah tandas ia habiskan.

Helaan napas terdengar dari mulut Changmin, tubuhnya yang tadi menghadap Kyuhyun kini lurus menatap papan tulis. Tangan kekarnya naik terlipat di depan dada.

“sebenarnya jika aku ada di posisi mereka, aku juga akan melakukan hal yang sama…” gumam Changmin pelan, merujuk pada keputusan kedua orang tua Kyuhyun yang menentang keputusan putranya. Changmin berujar dengan ujung matanya yang melirik kearah kiri, kearah dimana Kyuhyun berada.

Anggukan kecil Kyuhyun berikan sebagai tanggapan bahwa ia meyetujui apa yang Changmin sampaikan, “aku tahu itu. Sudah kuduga mereka akan menolak, terutama eomma. Tapi… tak ada cara lain lagi yang terpikirkan olehku selain cara ini Changmin-ah,”

“bagaimana jika kau memberi modal saja? Biarkan keluarganya memulai bisnis kecil, seperti berjualan makanan, mungkin?” dengan semangat Changmin mengutarakan idenya, mencoba memberi solusi untuk sahabatnya itu.

Namun Kyuhyun menggeleng lemah.

“jika bisa sudah aku lakukan sejak kemarin Changmin-ah.”

“memangnya kenapa tidak bisa?”

Tak segera menjawab, Kyuhyun sandarkan tubuh kurusnya pada sandaran kursi. Sepasang matanya menatap langit-langit ruangan kelas mereka, angannya melayang mengingat Kembali kejadian beberapa waktu silam, ketika ia mengunjungi rumah harta karunnya Kim Ryeowook dan melihat keadaan keluarga mereka yang sangat sederhana.

“keadaanya tidak memungkinkan, mereka hanya tinggal bertiga. Kim Ryeowook, adiknya yang berusia lima tahun dan nenek yang sudah berusia senja…”

Lagi Changmin menghela napas, ia tak menyangka ada seorang anak yang sebaya dengannya menanggung beban hidup seberat itu. Menjadi tumpuan sekaligus tulang punggung keluarga dan menjalani semuanya sembari menunaikan tugasnya sebagai pelajar.

Kenyataan ini membuatnya malu, betapa tidak bersyukurnya ia atas kehidupannya. Ketika semua yang ia butuhkan telah tersedia, ia masih saja sering kali merengek pada orang tuanya meminta banyak hal.

“jadi memang tak ada cara lain…”

Changmin bergumam dengan suara yang sedikit serak, ia usap wajahnya kasar. Merasa frustasi dengan permasalahan yang sedang Kyuhyun hadapi. Ingin rasanya membantu, tapi bagaimana?

Sebuah tepukan mendarat tepat di bahu Changmin.

Ia buka tangkupan kedua tangannya pada wajah tampannya itu, melempar tatapan pada Kyuhyun yang juga lekat menatapnya dengan penuh arti. Seulas senyum tipis merakah di bibir pucat milik sahabatnya. Cho Kyuhyun.

“jangan cemas, kau tahu eomma tak sekeras kepala yang kita kira. Aku yakin eomma akan setuju…”

Dengusan terdengar dari Changmin, ia luruskan tubuhnya dan terkekeh. Merasa lucu dengan situasi ini.

Sebenarnya siapa yang tengah menghadapi masalah? Kyuhyun? Ataukah dirinya? Kenapa jadi ia yang mendapatkan penghiburan?

“Ya! Kau berbicara seolah aku yang sedang kesulitan.”

Senyuman tipis Kyuhyun melebar mendengar kalimat Changmin, betul juga pikirnya.

“habisnya kau terlihat lebih frustasi di bandingkan aku.”

“bagaimana tidak Cho Kyuhyun? Kau baru saja melewati satu badai karena bersikeras merekrut Choi Siwon, dan sekarang kau mencoba menerjang badai yang lain? Aku tak habis pikir, sungguh Cho!”

Mata Kyuhyun mengerjap lucu, bibirnya masih tetap mengulum senyum. Sahabatnya ini ternyata benar-benar peduli padanya. Ia bersimpati dan bahkan berempati pada dirinya, bukan hanya membantu mencari solusi tapi terkadang juga ikut membantunya dalam bekerja walaupun tentu saja tidak dalam porsi besar.

“jangan dulu frustasi Shim Changmin…” gumam Kyuhyun mengganti senyuman yang tadi terpatri di wajahnya dengan seringaian yang begitu misterius, menyiratkan berbagai arti yang sulit untuk orang lain pahami.

Changmin bergidik, “kau belum mau berhenti?”

“apa maksudmu berhenti?” tanya Kyuhyun menggantung kalimatnya. “ini bahkan belum di mulai…”

Lanjutnya sembari terus tersenyum.

Wajahnya kini menoleh menghadap Changmin dengan ekspresi serius, “karena masih banyak badai yang sudah menanti dan  harus ku terjang, Changmin-ah…”

.

.

Sepasang manik menatap kosong langit-langit kamar dengan pencahayaannya yang temaram, sunyi. Yang terdengar hanya deru napas keduanya yang saling beradu. Terdiam, tak ada satupun yang membuka pembicaraan sejak tiga puluh menit yang lalu, sejak keduanya meninggalkan ruang keluarga setelah mendengar bujukan putra bungsu mereka untuk yang ketiga kalinya dalam tiga hari terakhir.

Benar, tiga hari. Setiap malam si kecil Cho itu terus merengek meminta ijin pada keduanya, memohon supaya keinginannya di kabulkan. Namun keduanya tetap bersikeras pada pendirian mereka, tidak boleh. Tentu saja.

Mungkin Sebagian orang akan berpikir bahwa mereka tak berperasaan karena mencegah putranya melakukan hal mulia. Akan tetapi, hati mereka sebagai orang tua tak bisa di bohongi. Mereka tak ingin hasil kerja keras putranya selama bertahun -tahun di relakan begitu saja untuk orang lain.

Hasil putra kecil mereka menghabiskan hari-harinya selama beberapa tahun terakhir di studio, mencipatakan banyak lagu dan menulis berbagai lirik yang sudah di akui bahwa semua karyanya memiliki kualitas tinggi, meski usianya barulah belasan tahun.

Rasanya ia tak bisa merelakannya begitu saja.

“yeoboo…” suara rendah sang kepala keluarga memecah keheningan, masih tetap menatap langit-langit kamar. Bibirnya mulai berucap. “aku rasa, kita harus mengalah…” ujarnya diikuti dengan helaan napas panjang.

Tak segera menyahut, seseorang yang dipanggil dengan yeoboo itu hanya menutup matanya sekejap. Memang benar pikirnya, sekuat apapun mereka mencoba melawan keinginan putra bungsunya, keinginan Kyuhyun. Pada akhirnya mereka tetap akan kalah, mereka hanya bisa mengulur waktu, berharap Kyuhyun menyerah. Namun mereka tahu, mereka tak akan pernah bisa menghentikan kemauan Si bungsu keluarga Cho.

Putra bungsunya itu. Ketika ia menghendaki sesuatu, maka tak ada seorangpun yang bisa mencegahnya. Semua orang sudah tahu itu.

“kau akan membiarkannya?” akhirnya wanita paruh baya dengan rupanya yang masih tetap cantik tersebut berujar lirih tanpa menatap seseorang yang berbaring di sampingnya yang tak lain adalah suaminya sendiri.

Hembusan napas kasar seolah menggema di ruangan sunyi itu, sebuah jawaban tanpa kata di berikannya pada sang istri.

“jadi kita ijinkan saja? Tapi yeoboo… kau tahu maksudku bukan? Kau tahu kenapa aku menentang?” tanya wanita itu pelan.

“aku sangat tahu, karena itu aku yakin cepat atau lambat kau juga akan mengalah pada kemauan Kyuhyun, bukan begitu?”

“kau baik-baik saja jika Kyuhyun membiarkan jerih payahnya digunakan orang lain?”

“tentu saja tidak, tapi aku akan jauh tidak baik-baik saja kalau membiarkan Kyuhyun kita kecewa.”

Wanita itu sekali lagi terdiam, meresapi setiap kata yang suaminya ucapkan. Memang semua yang suaminya katakan merupakan sebuah kebenaran, melihat Kyuhyun-nya kecewa adalah rasa sakit terbesar dalam hidupnya. Hal utama baginya adalah melihat putra bungsunya Cho Kyuhyun, si sulung Joo Myuk, dan juga suaminya Bahagia. Cukup hanya itu yang ia inginkan di dunia.

“lalu anak itu… bagaimana jika ia menyakiti Kyuhyun? Maksudku… bagaimana jika ia mengkhianati kepercayaan Kyuhyun? Aku tak bisa membiarkannya.”

“tidak usah cemas yeoboo, percaya saja pada Kyuhyun. Ia tak akan salah memilih.”

“kau yakin?”

“aku yakin…”

.

.

2 hari yang lalu.

Sebuah mobil mewah berwarna hitam terparkir tepat di depan gerbang salah satu sekolah menengah atas di Seoul, seseorang di dalam sana melihat kearah gerbang dan sesekali memeriksa sebuah potret yang ada di layar ponsel-nya. Menatapnya jikalau saja orang yang ada dalam potret itu berlalu di hadapannya.

Tiga puluh menit berlalu, gerombolan siswa yang keluar dari pelataran sekolah mulai berkurang jumlahnya, hanya tinggal menyisakan beberapa orang saja yang berjalan sambil sibuk dengan kegiatan masing-masing.

seseorang yang ia cari belum nampak batang hidungnya sama sekali, membuatnya mulai bergumam dalam hati. Bertanya-tanya apakah ia sudah melewatkan siswa itu? Seorang siswa yang sejak tadi ia tunggu. Namun ia yakin, ia tak melewatkannya. Ia adalah tipe orang yang cukup teliti dan mudah mengenali wajah orang, jadi rasanya tidak mungkin jika siswa yang ia tunggu telah berlalu tanpa ia sadari.

Dari jendela mobilnya ia terus lekat menatap gerbang sekolah, hingga akhirnya siswa dengan perawakannya yang mungil berjalan pelan dengan kesepuluh jemarinya menggenggam pada kedua tali ranselnya yang terlihat mulai lusuh.

Untuk memastikan, di tatapnya layar ponsel yang sejak tadi ia pegang. Menelisik wajah itu yang berada di dekat gerbang sana dan lalu mengalihkan atensinya pada layar ponsel.

“benar,” gumamnya singkat.

Lekas ia membuka pintu mobilnya, turun dengan cepat dan berlari menghampiri siswa yang sejak tadi ia nantikan kedangannya.

“Kim Ryeowook-goon?” sapanya tanpa basa basi.

Seseorang yang ia panggil Kim Ryeowook itu tertegun, ia menghentikan langkahnya dan terdiam sejenak. “siapa?” tanyanya dengan suara yang kecil dan terdengar seperti sebuah cicitan.

Pria itu tersenyum ramah, ia mengeluarkan kartu namanya.

Ryeowook membacanya dengan seksama, menatap wajah orang di depannya dan lalu menatap kartu nama di tangannya bergantian.

“mari ikut denganku, kita berbicara di mobil,” ajak pria dewasa itu sambil menunjuk ke arah mobilnya.

Namun Ryeowook menghindar, ia mundur satu Langkah. “tunggu sebentar ahjussi, aku tidak bisa percaya begitu saja. Bagaimana jika ternyata ahjussi berbohong? aku harus memastikannya terlebih dahulu,”

Ryeowook meraih ponsel tuanya yang ada di dalam saku celananya, mengetik beberapa kata di mesin pencarian.

Pria paruh baya di hadapannya meneliti setiap inci wajah, pakaian dan tubuh kurus remaja itu. Melihat setiap gerak gerik Kim Ryeowook tanpa tertinggal sedikitpun.

Tubuh kurus mungil, sepasang mata sayu, kulitnya yang tampak sedikit terbakar mata hari. Juga, warna seragam sekolahnya yang mulai memudar. Semuanya seolah menggambarkan keadaannya. Keadaan dirinya.

Ketika hasilnya keluar Ryeowook terkesiap, ia mematung sesaat.

“kau percaya sekarang?”

.

Di dalam mobil keduanya hanya terdiam, hingga beberapa waktu kemudian seorang pria dewasa disana berdeham mengawali pembicaraan.

“aku tahu Ryeowook-goon pasti sedang sangat sibuk, karena itu aku akan langsung pada intinya saja.” Hening sesaat, sebelum kembali di lanjutkannya kalimat yang sempat menggantung sepersekian detik itu. “apakah kau ingin menjadi seorang penyanyi?”

Bukannya menjawab, tiba-tiba Ryeowook terkekeh pelan. “ahjussi, tidakkah ini lucu? Apakah JeHa suka sekali melakukan casting di jalanan? Dalam beberapa hari terkahir sudah dua orang berasal dari JeHa yang datang padaku. Dari seorang pegawai tanpa jabatan, hingga  ahjussi- ah tidak. Tuan yang merupakan seorang petinggi Perusahaan, lucu sekali bukan?”

“tapi kau tidak menganggap ajakan ‘pegawai tanpa jabatan’ itu adalah sesuatu yang lucu juga bukan Ryeowook-goon?” tanya pria itu dengan nada bicaranya yang penuh dengan tekanan.

Ryeowook mematung tak mampu berucap. Jadi ini adalah episode baru dari perburuan Cho Kyuhyun. Pikirnya dalam hati. Menggunakan seseorang dengan jabatan yang tinggi rupanya.

“baiklah… karena kita sudah sampai pada pembicaraan ini. Maka dari itu, aku ingin sekali lagi bertanya padamu. Apakah kau ingin menjadi penyanyi?”

Ryeowook terdiam, ia telan salivanya susah payah. Kepercayaan dirinya seolah di tebas hanya dalam satu ayunan pedang. Aura ahjussi- ah tidak, petinggi JeHa ini sama persis dengan aura Kyuhyun. Meski mereka berbicara dengan lembut, namun cara mereka berbicara benar-benar penuh dengan percaya diri dan keyakinan. Seakan mereka tahu sebab akibat dari apa yang akan mereka lakukan. Tak ada rasa takut tersirat dalam nada bicara mereka. Aura yang kuat membuat lawan bicara mereka terkadang merasa kalah dan terintimidasi.

Selain itu, entah bagaimana. Mereka terasa begitu kokoh dan dapat di percaya, padahal ia tak mengenal keduanya dengan baik.

Bisakah ia mempercayai mereka?

Bisakah ia bersandar pada kedua orang ini?

“apakah boleh aku bermimpi jadi seorang penyanyi?” tanya Ryeowook dengan suara parau. Terdengar begitu kontras dengan kalimat sarkasnya yang tadi sempat terlontar.

Pria itu tersenyum penuh arti, ia angsurkan tangannya pada pemuda yang tampaknya sebaya dengan putra bungsunya itu. “siapa yang bilang tidak boleh?” tanyanya tanpa melepaskan senyuman. “semua orang memiliki hak yang sama untuk bermimpi dan menjadikan mimpinya itu sebuah kenyataan. Sekarang jabat tanganku…” perintahnya. Di ikuti dengan tangan Kim Ryeowook yang  seolah terhipnotis. Mengikuti perintah, perlahan tangannya terangkat, meraih dan lalu menggenggam tangan milik petinggi JeHa tersebut.

“Ketika nanti si pegawai tanpa jabatan itu datang kembali padamu, genggam tangannya seperti kau menggenggam tanganku. Percayakan semua padanya, aku jamin ia akan melindungi mimpimu, memayunginya hingga badai ini reda dan semua anganmu selama ini menjadi kenyataan…”

“Percayalah padanya, Ryeowook-goon…”

.

.

Jam menunjukan pukul 2 dini hari waktu Canada, sebuah kamar dengan dekorasi sederhana, berisi beberapa furniture minimalis di dalamnya yang di huni seorang pria dewasa dengan perawakan tinggi dan juga kulit putihnya yang mendekati pucat.

Ia duduk bersandar pada kursi yang berhadapan dengan meja kerjanya, jemari lentiknya memegang sebuah balpoin dan mengetuk-ngetukannya pada ujung meja dengan beraturan hingga menimbulkan bunyi yang seolah bernada, saling beradu dengan suara detak jarum jam. Membuatnya seakan mereka tengah berpacu dengan waktu yang terus berlalu tanpa ia sadari.

Tahun berlalu sejak ia pertama kali datang kemari, studi nya telah selesai. Namun ia enggan pulang ke tanah airnya untuk saat ini. Meski rindu kian membuncah di dadanya akan tetapi ia harus tetap bertahan, selain membantu bisnis sahabatnya ada janjinya yang harus ia tepati disini. Ada seseorang yang harus ia temukan di tempat ini.

Demi adik terkecilnya, demi Kyuhyun-nya.

Dalam sunyi itu, ponselnya berdering dengan suara nyaring. Pria itu beranjak dari duduknya dengan sekali hentakan.

“Mark? bagaimana? Kau menemukannya?” sambarnya, melupakan kalimat salam yang biasanya di ucapkan untuk mengawali sebuah percakapan melalui ponsel.

“wow… wow… calm down! Tidak  bisakah kau menyapaku terlebih dahulu Zhoumi?” ujar seseorang di ujung sambungan.

“ya… ya… apa kabar Mark? Sekarang katakan padaku kau punya berita apa?” sungut Joo Myuk terburu-buru.

“Ya Tuhan, tenanglah. Aku memang mendapatkan berita untukmu Zhoumi.”

“apa itu? berita apa?” tanyanya tak sabar, sepasang kaki jenjangnya berjalan kesana-kemari. Menyalurkan perasaannya saat ini.

“Baiklah, sebelumnya Zhoumi aku tak yakin apakah ini kabar baik ataukah buruk untukmu. Namun aku menemukan bahwa orang yang kau cari itu tampaknya sedang berencana untuk Kembali ke Korea.”

what? Tentu saja ini kabar baik, Mark! Lalu kenapa kau harus ragu untuk menyampaikannya? Jika memang ia akan Kembali ke Korea, akan lebih mudah untuk kita melacaknya. Bukan?”

“Ya, seharusnya begitu. Tapi kita tahu, orang ini berbeda…”

“apa maksudmu?”

“aku menemukan bahwa ternyata ia telah berganti identitas dan semuanya di atur sedemikian rupa hingga tak ada seorangpun yang bisa mengakses data-datanya…”

“lalu?”

“Zhoumi, akan lebih sulit untuk kita menemukannya jika ia Kembali ke Korea dengan identitas baru.” Ia hela napasnya sesaat, sebelum Kembali melanjutkan. “orang di belakangnya benar-benar gila! Bukan hanya identitas, bahkan data kelahiran, sekolah. Semuanya tak bersisa, anak ini seolah terlahir Kembali!”

Napas Zhoumi atau biasa keluarganya di Korea memanggilnya Joo Myuk tercekat. Benar, jika seseorang yang ia cari ini kembali ke Korea dengan identitas baru, mustahil baginya untuk menemukan dia. Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ini menjadi semakin tak mungkin.

Joo Myuk hirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya. Sebelumnya dia sudah tahu bahwa seseorang di belakang anak ini bukanlah orang sembarangan, dia seseorang dengan power yang luar biasa, baik ekonomi ataupun politik orang ini berada di golongan 1%. Dan fakta lainnya yang tak kalah mengejutkan bahwa ia adalah seseorang yang siap melenggang menuju Blue House. Seperti yang appa katakan.

Dalam situasi seperti ini dia tidak boleh panik, dia harus tetap tenang dan berpikir dengan kepala dingin. Baiklah, kesulitannya kini mungkin memang bertambah. Bukannya berpacu dengan ketidak pastian, namun kini ia juga harus berpacu dengan waktu. Anak itu harus segera Joo Myuk temukan sebelum dia terbang ke Korea.

“Hello Zhoumi? Kau masih disana?”

“Ya, aku mendengarkanmu, Mark… Aku rasa kita harus berpacu dengan waktu, kita harus cepat menemukannya.”

“kau benar, karena itu bersabarlah sebentar. Oke?”

“Baiklah, Mark. Aku percayakan semuanya padamu.”

Yes, Sir! Kau bisa percaya padaku.”

.

.

“appa?”

Sepasang kaki berlari menyusuri jalanan menuju gerbang sekolah, dimana di depan sana terparkir sebuah mobil mewah berwarna hitam metalik yang amat ia kenal. Bibir pucatnya bergumam beberapa kali, menggumakan satu kata yang sama. Appa.

“Hati-hati little Cho!” perintah seseorang dari dalam mobil dengan jendelanya yang turun, menampakkan wajah tampannya meski usianya sudah tak muda lagi.

Seseorang yang ia panggil Little Cho menghentikan langkahnya ketika telah sampai tepat di samping mobil milik… “appa?”

Ya, itu adalah mobil milik appa yang tampaknya sudah terparkir di muka gerbang sekolah sejak beberapa waktu lalu.

“cepat masuklah!”

Kyuhyun mengikuti perintah, ia membuka pintu mobil dan masuk dalam sekali hentakan. “tidak biasanya appa menjemputku, ada apa?”

“memangnya seorang ayah tidak boleh menjemput anaknya sendiri?” tanya appa dengan bibir cemberut yang di buat-buat.

Kyuhyun berdecih menatap appa dari sudut matanya, “aku serius appa… ada apa?”

Menanggapi pertanyaan Kyuhyun, appa hanya terkekeh kecil. Melirik putranya itu yang Tengah menampakan ekspresi penasaran.

Kyuhyun kecilnya ternyata sudah besar, ia yang dulu hanya seorang bayi kecil degan berat badannya yang mencapai dua kilogram saja karena terlahir premature. Kini sudah tumbuh tinggi dan begitu tampan. Kyuhyunnya yang juga memiliki rasa simpati dan empati yang begitu besar, sejak kecil ia sering kali menangis jika melihat sesuatu yang menurutnya tak adil.

Kyuhyunnya yang memiliki hati yang lembut, Kyuhyunnya…

“appa… appa…”

Suara kecil diiringi dengan tepukan di lengan itu membangunkan appa dari lamunannya, “oh, Ya… Kyu, kenapa?”

‘kenapa?’

Ternyata dirinya benar-benar tenggelam begitu dalam dalam lamunannya, sampai-sampai ia justru balik bertanya pada putranya itu. Baik, saatnya fokus.

“appa terus melamun sejak tadi, ada sesuatu yang terjadi? Kenapa menjemputku?”

“ada tempat yang harus kita kunjungi Kyu…”

.

.

Mobil milik petinggi JeHa Ent. Itu berhenti tepat di depan sebuah gedung, beberapa orang berlalu lalang disana. Kyuhyun yang awalnya bertanya-tanya kenapa appa menjemputnya, kini hanya dapat terdiam tak dapat berucap. Matanya terbuka lebar dengan binar yang seakan membuat siapapun yang melihat pancaran itu akan terserap ke dalamnya. Sangat indah.

“Bank?”

Appa mengangguk, ia tangkup wajah putra bungsunya dengan kedua belah tangan dengan jemarinya yang terbuka lebar. “appa dan eomma sudah membuat keputusan, kau tahu apa keputusan kami Kyu?”

Kepala remaja berusia enam belas tahun itu mengangguk kuat, di bibirnya tersungging senyuman khas miliknya. Maniknya yang berbinar tampak mulai tergenang air mata, meski coba ia tahan rasa haru itu, namun sepertinya sesaat lagi pertahanan itu akan runtuh.

“kami ijinkan kau melakukannya, Kyu! Tapi… kau harus bertanggung jawab pada keputusanmu, kau tahu ada banyak resiko yang siap menghampirimu di depan sana. Kesulitan yang kau hadapi hari ini mungkin hanya setitik kecil dari banyaknya rintangan yang akan kau hadapi nanti. Jangan lepas tanggung jawab dan tetap kuat. Kau tahu… kami selalu ada disini bersamamu. Appa… eomma… Joo Myuk…”

Tak terelakan lagi, air mata kini merembes di kedua mata bocah itu, hidungnya memerah, tangisnya pecah. Ia terisak.

Kedua tangan appa yang awalnya berada di kedua belah pipi Kyuhyun kini beralih pada tubuh Kyuhyun, menarik tubuh ringkih itu dalam pelukannya. Mengusap punggung putranya yang kini Tengah terisak hebat.

“kau hebat Kyu… putraku memang hebat! Jangan takut pada apapun karena kami akan selalu mendukungmu…”

.

.

Udara dingin menyeruak menembus hoodie sewarna tulang yang remaja itu kenakan hampir sepanjang musim ini, sepasang kaki kurusnya mengayuh pedal sepeda. Membelah udara yang sejak tadi terus menemaninya.

Sekarang pukul 5.30 pagi.

Suasana jalanan masihlah sangat sepi, tentu saja, ini akhir pekan. Kebanyakan orang pasti masih bergelung dalam selimut tebalnya, menghangatkan diri dan mengistirahatkan tubuh yang sudah bekerja sepanjang hari di minggu itu.

Lalu apa yang ia lakukan di jalanan dengan sepeda bututnya ini?

ia tersenyum miris, ujung bibirnya tersungging di ikuti dengan helaan napas panjang yang terdengar menderu di bawah temaramnya lampu jalanan yang masih menyala.

Pandangannya mengedar pada sekeliling, lingkungan yang ia lewati hampir setiap hari. Kompleks perumahan dengan paga-pagar tinggi yang melindungi bangunan rumah mewah di dalamnya. Belum lagi, beberapa mobil dari brand otomotif ternama yang terparkir di bahu jalan yang memang di peruntukan untuk lahan parkiran.

Ia hentikan kayuhan pada pedal sepedanya, melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sembari mendorong sepedanya yang berisi beberapa kotak susu dan koran yang tampaknya semakin hari peminatnya semakin berkurang. Ya, perubahan jaman memang tak bisa di cegah. Sekarang semua orang tampaknya lebih tertarik dengan artikel online yang lebih mudah di akses di bandingkan koran konvensional yang semakin lama semakin di tinggalkan.

“sepertinya aku harus mencari pekerjaan baru,” gumam pemuda itu seorang diri.

Kakinya terus melangkah menyusuri jalanan, hari ini dia tampak tak terburu-buru seperti hari biasanya, karena memang hari ini akhir pekan. Ia tak perlu memburu waktu agar bisa berangkat sekolah tepat waktu setelah menyelesaikan pekerjaannya ini.

Beberapa kali ia menghentikan laju langkahnya, menyimpan segulung koran dan beberapa kotak susu di depan pintu gerbang rumah pelanggan yang hampir setiap hari ia lewati.

Hingga akhirnya ia sampai di depan gerbang sebuah rumah yang cukup ia hapal.

Rumah ini…

“Ya! Kenapa lama sekali?!”

Bentakan keras dari balik gerbang membuat tubuh mungil pemuda itu terhentak cukup kuat, ia meloncat dan hampir melepaskan genggaman tangannya pada stang sepeda tuanya. Untung saja ia memiliki reflek yang bagus, jika tidak bisa saja sepedanya terjatuh dan ia di pecat sebelum sempat mengundurkan diri seperti rencananya.

“Ya Kim Ryeowook! Biasanya kau lewat lebih pagi, kenapa jam segini baru datang?” sungut seseorang yang baru saja membuka gerbang rumahnya, setelah sebelumnya mengejutkan Kim Ryeowook di pagi buta itu.

Ryeowook mengerutkan dahinya, ia mengeluarkan ponselnya dan melihat jam berapa sekarang. Ini masihlah sangat pagi. Biasanya juga ia melewati lingkungan ini di waktu yang sama, ia hanya terlambat tak sampai sepuluh menit saja, tapi orang di hadapannya sudah bersungut-sungut seolah dirinya terlambat berjam-jam. Sungguh kesabaran anak ini hanya setipis tisu.

“apa urusanmu aku datang terlambat?”

“tentu saja ini urusanku! Kau terlambat dan harus membuatku menunggu pagi-pagi, di Tengah udara dingin, sambil duduk di atas ubin sedingin es itu dan dengan cemas berharap apakah kau akan lewat pagi ini atau tidak ataukah aku harus meng-”

‘prok!’ satu tepukan tangan dari Kim Ryeowook menghentikan deretan kalimat tanpa jeda anak itu, “kenapa menungguku Cho Kyuhyun?” tanyanya langsung to the point.

senyuman merekah di bibir pucat Kyuhyun, ia angsurkan lembaran kertas yang sejak tadi ia genggam pada Kim Ryeowook. “Cha! Bacalah ini!” perintahnya sedikit memaksa.

Ryeowook hanya menurut, ia ambil lembaran kertas itu sambil sesekali melempar tatapan penuh tanya pada Kyuhyun di hadapannya, “apa ini?”

“baca saja,” ujar Kyuhyun pasti.

Ryeowook memfokuskan tatapannya pada lembaran kertas di tangannya, membaca setiap kata dengan seksama. Dan bahkan ia mengulang beberapa kalimat untuk memastikan bahwa penglihatannya benar dan pemahamannya tidaklah keliru.

“ini…”

“ini kontrak pelatihan yang sudah di buat dan di susun disesuaikan dengan situasi dan kondisimu,” ujar Kyuhyun dengan kedua matanya yang tak lepas menatap Ryeowook.

Menilisik wajah pemuda itu, melihatnya dengan penuh harapan. Beberapa hal ia tangkap dan cukup menggelitik hatinya. Disana, di bagian lengan hoodie milik Kim Ryeowook. Warnanya terlihat mulai memudar dan sedikit ada robekan. Bukti dari kerja keras remaja dengan perawakan mungil namun memiliki suara yang begitu indah.

Tanpa terasa jemari Kyuhyun meraih tangan Ryeowook, menutup robekan di pergelangan baju anak itu dengan genggaman tangannya. “ijinkan aku menarik dirimu dan juga mimpimu ke dalam mimpiku Kim Ryeowook,”

Ryeowook mematung, angannya tiba-tiba saja melayang pada momentum beberapa hari yang lalu. Ketika seseorang dari JeHa datang menemuinya, setiap kata pria paruh baya itu seolah mengalun dalam benaknya, seperti sebuah kaset. Berputar tanpa henti.

“Ketika nanti si pegawai tanpa jabatan itu datang kembali padamu, genggam tangannya seperti kau menggenggam tanganku. Percayakan semua padanya, aku jamin ia akan melindungi mimpimu, memayunginya hingga badai ini reda dan semua anganmu selama ini menjadi kenyataan…”

Dan hal itu kini terjadi… bukan ia yang menggenggam tangan si pegawai tanpa jabatan, justru si pegawai tanpa jabatan itu yang menggenggam tangannya dengan hangat. Tatapan mata penuh keyakinan itu menusuk relung hati Kim Ryeowook, mengunci dirinya hingga tak mampu berucap.

Entah bagaimana… namun ia mempercayainya. Ia meyakininya…

Ia memutuskan, bahwa ia akan melabuhkan mimpinya di tangan Cho Kyuhyun yang tengah menggenggam tangannya saat ini.

“aku… setuju.”

.

.

To Be Continued

3 thoughts on “Umbrella (Chapt. 12 – Believe In You)

  1. Ya ampun kaget ada update-an chapter terbaru dari umbrella. Tulisannya masih bagus dan feelnya masih sama dgn chapter2 sebelumnya meski dah lama hiatus. Moga updatenya nggak sampai lama banget ya😭 Semangat melanjutkan Kha💪

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.